Tuesday, August 28, 2007

EKSPRESI ATAS GERHANA

Petang ini, Selasa 28 Agustus 2007 kita menyaksikan kembali kebesaran Allah melalui peristiwa gerhana bulan yang jarang-jarang terjadi. Bagi seorang muslim yang mengaku cinta kepada Nabinya, gerhana bulan bukan peristiwa alam untuk dilewatkan begitu saja tanpa kesan. Atau peristiwa aneh yang dibumbui dengan perilaku dan sikap jahili, sebagaimana orang-orang dulu merespons setiap gerhana. Nenek moyang dahulu, ketika gerhana terjadi, semua lesung dan peralatan dapur ditabuh, beramai-ramai masuk ke kolong bale berhimpitan, atau percaya bahwa bulan sedang berada di mulut seorang raksasa. Sunnah mengajarkan, ketika gerhana teradi dianjurkan shalat dua rokaat dan mendengarkan khutbah, memperbanyak mengingat Allah dan bersodaqah. Gerhana tidak ada kaitannya dengan mitos dongeng raksasa, tidak ada kaitannya dengan kematian dan kehidupan seseorang. Apalagi memiliki hubungan rahasia dengan lesung dan kolong bale-bale.

إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَر َ آيَتَانِ مِنْ ايَاتِ اللهِ لاَيَخْسِفَان ِ لِمَوت ِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَتَصَدَّقُوا وَصَلُّوا

“ Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Siti Aisyah ra.

Hadits di atas berkenaan dengan peristiwa kematian salah seorang putra Rasulullah yang kebetulan berbarengan dengan peristiwa gerhana. Orang-orang kemudian mengaitkan gerhana itu karena sebab kematian putra Rasulullah. Kurang lebih mereka beranggapan, gerhana terjadi karena wafatnya putra kekasih Allah itu. Rasulullah menepis anggapan yang beraroma syirik tersebut dan meluruskannya dengan hadits di atas.

Matahari dan bulan dinyatakan sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah, sekaligus nikmat yang amat besar. Bagaimana tidak, jagat raya amat bergantung padanya. Keteraturan daur hidup manusia dan kelangsungan hidupnya, banyak sekali berghantung pada dua benda angkasa itu. Cahaya matahari, menjadikan bumi, atmosfir, udara dan air menjadi kekuatan dan sumber energi dan rizki bagi kita. Bulan dengan cahaya lembutnya itu, mengajarkan manusia berhitung bilangan dan merancang masa depannya. Kekompakkan keduanya menjadikan malam begitu nyaman untuk istirahat, sementara siangnya adalah cahaya hidup bagi kita untuk mengais rizki yang Allah sediakan. Keduanya beredar pada garis edarnya mengikuti petunjuk Allah SWT.

Begitu ajegnya benda-benda langit itu menjalani fungsinya, tidak satupun dari keduanya saling bersinggungan dan saling mendahului demi kesimbangan alam dan mematuhi penguasanya.

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ﴿٣٨﴾ وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ﴿٣٩﴾ لَا الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ ﴿٤٠﴾

“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.( QS. Yaasin [36] : 37 – 40)

Kita memang harus sering-sering membaca peristiwa alam. Terutama segala peristiwa yang begitu banyak menimbulkan kerugian bagi kehidupan kita karena ada campur tangan manusia di dalamnya. Kepandaian membaca peristiwa yang terjadi itu sangat penting untuk kita jadikan cermin dan kaca diri. Sebab, begitu banyak sudah peristiwa yang berseliweran berpapasan dengan kita, tidak sanggup kita baca dengan cerdas. Banjir dan longsor datang satu dua kali, bahkan puluhan kali, tapi penebangan hutan tidak pernah berhenti, bahkan semakin banyak hutan yang dibabat. Orang pandir masih saja tanpa dosa membuang dan menumpuk sampah di sungai-sungai.

Kadangkala, beberapa gelintir orang begitu ceroboh dan tanpa perhitungan memperlakukan alam dengan sangat tidak santun. Hanya demi keuntungan dan dalih pembangunan ekonomi, lautan bumi dieksploitasi berlebihan. Karunia dan titipan Allah itu diperas dan dipaksa melayani nafsu serakahnya. Akhirnya, orang lain yang lebih banyak menelan kepahitan akibatnya.

Kita perlu banyak belajar dari matahari dan bulan tentang rasa takut dan ketundukkan kepada Allah yang tanpa pamrih. Tentu dengan kapasitas kita sebagai manusia. Namun, identitas manusia yang kita sandang sebagai makhluk berakal dan paling mulia itu, seringkali disesatkan oleh egoisme tanpa tahu diri. Ternyata yang rajin merusak alam selama ini adalah manusia dan egonya. Yang mencemari sungai dan lautan adalah manusia dan egonya. Aduh sayang, kebanyak pelakunya justru adalah orang-orang beragama dan berTuhan. Dan … entah apalagi.

Kerusakan lingkungan yang berdampak buruk itu, tentu belum seberapa jika disejajarkan dengan kerusakan moral, aqidah dan keyikanan yang menjadi wilayah ruhani. Sampai hari ini, kita masih menyaksikan lahirnya manusia-manusia yang secara zahir berpenampilan rapih, berwibawa dan menarik. Tetapi setelah terkuak, ternyata hanyalah manusia-manusia rusak.

Pembusukkan aqidah, merupakan sisi lain dari persoalan yang dihadapi ummat Islam bangsa ini. Di rumah kita yang bersahaja, tempat yang paling aman bagi anak, isteri dan seluruh anggota keluarga, telah disusupi hantu, syetan, jin, makhluk halus dan lelembut versi elektronik. Apalagi, beberapa di antaranya jelas-jelas mengandung khurafat atau kesyirikan. Seperti seorang ustadz yang memakai biji tasbih sebagai jimat. Dari tasbih keluar huruf-huruf hija’iyyah atau bisa meledak. Ini sangat lazim muncul di TV. Padahal Nabi telah mengingatkan,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
”Sesungguhnya jampi, jimat dan pelet adalah kesyirikan.” (HR Ibnu Majah, Ahmad).

Sudah banyak ummat Islam yang terpikat kepada khurafat, takhayyul dan dunia mistis. Islam kemudian dipersepsikan sebagai agama yang penuh dengan nuansa mistis, agama yang menanamkan dimensi kualat dan berbagai kekerasan dunia ghaib. Semua itu, hampir tiap malam dapat disaksikan li layer kaca rumah kita. Tidak dapat dihindari, meskipun diangkat dari kisah nyata, sebagai kelengkapan cerita menuntut adanya tambahan dan rekayasa kejadian, nama maupun tempat. Unsur melebih-lebihkan dari kejadian sebenarnya jelas ada. Karena tanpa bumbu ini, cerita menjadi hambar, kurang dramatis. Akhirnya, kedustaan mendominasi isi cerita yang disajikan. Padahal Rasul pernah mengungkapkan :

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR Abu Dawud)

Di samping kebenaran cerita perlu dipertanyakan, kesimpulan dan pengambilan ibrah juga seringkali kurang bijaksana. Untuk satu kejadian mengerikan melulu dikaitkan dengan dosa tertentu. Misalnya kuburan yang tergenang air, lalu serta merta dikaitkan dengan dosa si mayit. Ini berbahaya dan naif, sebab bisa menimbulkan su’uzhan kepada mayit yang mengalami hal serupa padahal bisa jadi karena sifat tanah teempat penguburannya merupakan daerah sumber mata air.
Atau kuburan yang mengeluarkan asap, lalu serta merta juga dikaitkan dengan perselingkuhan yang pernah dilakukan si mayit. Hal-hal seperti ini dikhawatirkan ketika ada kejadian yang kurang wajar, lalu orang begitu mudahnya diarahkan untuk meyakini peristiwa aneh itu, dicari sisi dosa dan dibesar-besarkan, padahal ternyata hanya sebagai bumbu cerita saja.
Memang, kisah adalah sarana penting diterimanya dakwah. Tetapi tak perlu mengibuli umat untuk mendakwahi mereka. Untuk itulah Nabi tidak pernah bercerita kecuali yang benar. Jika ingin berkisah, maka sebaik-baik kisah adalah kisah yang dipaparkan di dalam Al-Qur’an. Datanya akurat, tidak ada kedustaan di dalamnya. Pelajaran yang bisa dipetik juga telah tergambar jelas. Misalnya tentang siksa bagi kaum Luth, di mana bumi di balik, mereka dihujani batu sampai mati, itu karena dosa homoseks yang mereka lakukan. Atau Qarun yang ditenggelamkan ke bumi beserta kekayaannya, itu karena kesombongannya.
Al-Qur’an memang memerintahkan agar kita percaya dan meyakini perkara-perkara ghaib. Tetapi, kepercayaan kepada yang ghaib harus sejalan dan sesuai sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah dan rasul-Nya. Bukan seperti yang dilakukan dan dipertontonkan oleh segelintir orang, yang dengan angkuh dan sombongnya menjelaskan perkara-perkara ghaib dari sumber bisikan-bisikan yang dikarang-karang. Mengapa kita harus mempercayai perkara ghaib berdasarkan bisikan-bisikan yang kebenarannya belum jelas sementara kesesatannya tidak diragukan. Wahai kaum muslimin, cukuplah Allah yang menuntun dan menunjukkan kita dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin sepenuhnya manusia dapat memahaminya. Bukankah Allah telah mengingatkan kita dalam firmannya :

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“ Katakanlah,” Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. Dan mereka tidak mengetahui kalau mereka akan dibangkitkan”. (QS. An-Naml [27] : 65)

Yah, kita memang perlu belajar ketaatan kepada berbagai peristiwa alam. Gerhana bulan yang baru saja kita saksikan, mudah-mudahan mengarahkan kita kepada aqidah yang murni, tanpa bumbu syirik dan khurafat. Ekspresi yang luhur atas gerhana hanya, shalat sunnah dua rokaat dan khutbah, memperbanyak sodaqoh dan bertakbir kepada-Nya. Wallahua’lam.

Tuesday, August 7, 2007

KEPALA KERBAU, ISU TAK SEDAP DARI MASJID KUBAH EMAS

Not For Children

Menyaksikan wujud masjid berkubah emas milik Yayasan Dian al-Mahri memang menakjubkan, siapapun pengagumnya. Animo masyarakatpun nampak besar dan megah, semegah arsitektur bangunan masjid itu. Hampir setiap pekan di hari Sabtu dan Minggu, pengunjung berdatangan ingin melihat dari dekat menghilangkan rasa penasaran kubah emasnya yang konon 18 karat. Atau ingin meraba marmer lantai dan dindingnya yang konon pula didatangkan dari Italia kualitas terbaik. Mereka datang dengan bus-bus besar yang sengaja dicarter patungan. Lebih banyak lagi kendaraan pribadi. Sebagian besar mereka datang dari luar kota sekitar. Ada di antaranya dari Serang, Bandung, Sukabumi, Tasikmalaya dan sebagainya. Boleh jadi berasal dari luar Jawa. Ya, hanya untuk melihat dari dekat, shalat, atau mengikuti wisata ziarah kerjaan panitia.

Arsitektur bangunannya, lapis emas kubahnya dan marmer yang melatarinya, barangkali menjadi daya tarik yang mengundang kaum muslimin mengunjunginya. Terlepas dari kabar mistis entah dari mana ujungnya, konon masjid itu berasal dari perut bumi serupa cendawan muncul ke permukaan dan membentuk diri menjadi masjid, aya-aya wae. Jika dilihat dari bekasan pengunjung, tentulah mereka datang dengan bersusah payah, cucur keringat dan iuran seperak dua ribu untuk dapat menyewa bus pengantarnya. Saya, yang setiap hari kerja, berangkat dan pulang melintasi masjid itu, kadang tergelitik, jangan-jangan masjid mereka malah sepi jamaahnya. Atau tidak seantusias ketika bertamu ke masjid di Cinere, Depok itu. Mereka datang dengan pakaian yang kompak, seragam. Satu dua di antaranya menggunakan perhiasan mencolok dan bermake up agak mencorong. Maklum, wanita.

Tidak semua peziarah dapat merasakan kepuasan berdekatan dengan masjid yang dibangun sejak tahun 1999 itu. Banyak yang memendam kekecewaan dan menelan asa yang tak kesampaian. Bisa jadi karena ketidaktahuan, bahwa pengunjung di bawah usia 10 tahun tidak diperkenankan untuk memasuki rumah Allah yang mewah tersebut. Banyak di antara mereka bertanya, apa dalih yang membenarkan anak kecil dilarang masuk ke masjid ? Tentu, peziarah yang datang dari jauh akan merasa bahwa ini tidak adil dan aneh.

Saya agak heran, entah bagaimana ceritanya, isteri dan kedua putra-putri saya 5,5 tahun dan 3,5 tahun dapat masuk ke masjid itu. Tapi akhirnya harus “diusir” keluar hanya dengan tatapan mata dan isyarat telunjuk. Tidak dengan bahasa dan air muka yang jernih.


Isu Miring


Wallaahu a’lam. Itulah kalimat pembuka paragrap saya selanjutnya. Tiada yang tersembunyi bagi Allah. Semuanya berada dalam genggaman pengetahuan-Nya.

Ada kawan, penduduk asli sekitar lokasi masjid bercerita. Cerita yang aneh dan ganjil. Minimal menurut nalar saya. Pembangunan masjid diawali dengan ritual tidak lazim bagi pembangunan sebuah masjid sebagai rumah Allah dan lambang tauhid. Bersama dengan penanaman pondasi, turut pula dipendam kepala kerbau dibungkus kain putih. Sisa daging kerbau selain kepala, menjadi bagian yang disedekahkan bagi orang sekitar untuk dinikmati. Pelaku ritual dikenali sebagai “ustad” yang cukup dikenal di daerah itu.

Apa maksud di balik itu ?

Ritual demikian dan yang sejenisnya, bukan tidak mungkin lebih dekat kepada syirik dan musuh tauhid. Bahasa untuk menjelaskan ritual seperti itu pun adalah sebagai persembahan atau sesaji, atau tumbal. Nah, alamatnya pun jelas, yaitu thaghut yang diberhalakan baik fisik maupun isme atau kepercayaan. Siapa lagi kalau bukan thagaut ? Allah ? Tidak ! Allah tidak membutuhkan tumbal, sesaji dalam bentuk apapun. Allah tidak membutuhkan kepala kerbau untuk bisa dekat dengan-Nya. Kecuali tradisi berkurban yang disyari’atkan sejak para Nabi terdahulu. Dan Allah tidak minta jatah apapun dari hewan yang disembelih untuk-Nya.

Tradisi ini agak-agak mirip dengan apa yang dilakukan musyrikin Arab dahulu yang disinggung dalam QS. Al-An’am [6] : 136.

“ Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka : ‘ Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’ Maka sajian-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian-sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka”. (QS. Al-An’am [6] : 136)

Kehadiran al-Qur’an dalam setting kultur musyrikin Arab kala itu, pada dasarnya untuk meluruskan tradisi sesaji sekaligus sebagai pesan perang bendera tauhid dengan kemusyrikan sebagai musuhnya. Hal ini tetap berlaku hingga sekarang. Artinya, selama bendera tauhid masih dikibarkan maka di situlah kemusyrikan akan diperangi, dituntun pelakunya untuk bertaubat kepada penguasa tunggal; Allah SWT.

Dalam kasus masjid Dian al-Mahri, adalah sebuah paradoks. Satu sisi membangun rumah Allah tempat bendera tauhid dipancangkan, di lain sisi “menghormati” berhala dalam satu paket yang bersamaan. Jadi, tauhid dengan syirik bergandengan tangan dan dipaksa bermesraan. Aneh.

Ada kawan saya yang bilang, itu hanya adat dan tidak perlu lah dipertentangkan. Hal itu sudah mengakar jauh sebagai sebuah tata nilai yang “patut” dihargai. Tradisi yang turun temurun hampir setiap ada momen membangun bangunan penting hal itu dilakukan. Alasannya pun agak menakutkan. Konon jika hal itu tidak disuguh, ada saja celaka-celaka yang mengikuti proses pembangunan apapun. Entah pekerjanya, mandornya dan orang yang terlibat langsung atau tidak kena tulahnya. Bahkan katanya, pake acara minta berapa nyawa sebagai kompensasi atas keengganan memberi kepala kerbau. Namun ketika saya bertanya, adakah jaminan jika permintaan kepala kerbau itu dipenuhi tidak terjadi kecelakaan apapun baik sebelum atau sesudahnya. Absurd. Apalagi ketika saya gunakan logikanya, bahwa sampai saat inipun kecelakaan di jalan tol masih tetap terjadi setiap saat. Beberapa waktu lalu, ada mobil yang terjun dari lantai empat sebuah pusat perbelanjaan. Atau berapa banyak nyawa yang tercerabut saat kereta api mengalami tabrakan dan sebagainya. Padahal bisa jadi; seperti tuturnya, hampir semua proyek penting meminta kepala kerbau.

Di sinilah pentingnya memahami tradisi secara arif. Kalu memang tidak sejalan dengan syariat, maka kita tidak perlu ragu mengatakan bahwa itu keliru. Perkara itu tetap dijalankan, adalah soal kedua yang berpulang pada keyakinan masing-masing. Jadi masalahnya bukan perlu atau tidak perlu dipertentangkan. Tapi lurus atau tidak bagi seorang muslim. Sorang muslim harus dididik, bahwa apapun yang dialaminya berupa kepahitan, merupakan musibah yang perlu disikapi dengan sabar seraya berikhtiar untuk menghilangkannya dengan cara-cara yang manusiawi religius. Tauhid menegaskan, bahwa hanya kepada Allah kita mohon keselamatan.


Masjid dan Taqwa


Masjid haruslah dibangun dengan dasar taqwa dan didirkan sebagai lambang tertinggi ke-Esaan Allah yang dibahasakan dengan sujud, zikir dan ketertundukkan secara mutlak kepada keagungan zat-Nya. Justru dari masjidlah diharapkan memancar cahaya jalan lurus yang menerabas kegelapan dan menyingkirkan hitam legamnya praktek-praktek syirik, khurafat dan tahayul.

Ketaqwaan sebagai landasan membangun masjid sejalan dengan tujuan untuk apa masjid itu dibangun. Ketika Rasulullah berhijrah ke Yastrib, yang pertama kali beliau lakukan adalah membangun masjid kecil berlantai tanah, beratap dan berdinding pelepah kurma. Masjid itu dikenal dengan masjid Quba, kemudian disusul dengan masjid Nabawi. Allah menisbatkan kepada masjid itu sebagai masjid yang dibangun atas dasar taqwa (QS. At-Taubah [9] ; 108). Setiap masjid semestinya memiliki landasan serupa. Hal ini berarti, bahwa kehadiran masjid di manapun, harus difahami sebagai manifestasi dari ketaqwaan kepada Allah SWT. dan sebagai pusat mengembangkan sayap dakwah. Tujuan mulia dan luhur ini harus dilakukan dengan cara-cara yang bersih, lurus dan dalam rangka bertaqarrub hanya kepada-Nya.

Patut juga diingat, bahwa masjid haruslah mencerminkan kewajaran dan kesederhanaan fisik bangunan. Ada semacam penilaian sementara para ahli bahwa dalam sejarah Islam tercatat perhatian yang berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kekurangan, kedangkalan dan ketidakberdayaannya dalam memenuhi fungsui-fungsinya. Seolah-olah kemegahan arsitektur dan estetika dijadikan konpensasi untuk menyembunyikan kekurangan atau ketidakberdayaan tersebut.

Sepertinya, masjid Yayasan Dian al-Mahri tidak bisa dipaksakan dibilang sederhana. Bangunan fisik yang mentereng dengan beberapa material mewah bangunannya yang telah disinggung di awal lebih pantas untuk dibilang megah bahkan terkesan bermegah-megahan. Satu keadaan yang pada masa Nabi dan Sahabat tidak pernah terjadi. Bukankah bermegah-megahan itu dilarang agama? Namun di balik modernnya bangunan masjid itu, diselipkan tradisi animisme kepala kerbau. Bagaimana mungkin, rumah Allah dikotori dengan kebatilan dan animisme jahiliyah? Ah, di mana landasan taqwanya?

Semoga, khabar tentang kepala kerbau hanyalah isu meskipun berhembusnya amat kencang dari arah masjid kubah emas Dian al-Mahri. Sekali lagi, Wallaahu a’lam.


Hanya Ada Tiga Masjid Istimewa


Wahai para peziarah, ketahuilah pesan Nabi :

‏عَنْ ‏ ‏أَبِي هُرَيْرَةَ ‏ ‏رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ ‏ ‏الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ‏ ‏وَمَسْجِدِ‏ الرَّسُولِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Hadis dari Abu Hurairah ra Bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh dilakukan perjalanan (untuk mencari berkah) kecuali ke tiga mssjid, yaitu masjidku ini (Mesjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa” (HR. Bukhari Muslim).

Imam Bukhari dalam Sahihnya mengambil satu riwayat dari Abu Said al-Khudri (sahabat yang pernah ikut berperang bersama Nabi sebanyak dua belas kali) tentang larangan melakukan perjalanan untuk mengunjungi masjid sebagaimana riwayat di atas, diiringi dengan tiga larangan yang sangat tegas keharamannya. Artinya, larangan mengunjungi masjid dengan bersusah payah dapat dianggap setara dengan larangan tiga hal tersebut. Pertama, seorang wanita tidak boleh bepergian sendiri selama dua hari melainkan didampingi oleh suami atau mahramnya. Kedua, tidak boleh melakukan puasa pada dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ketiga, tidak boleh mengerjakan shalat sesudah dua shalat, yaitu shalat Shubuh hingga matahari terbit dan sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam. Dan keempat, tidak boleh dilakukan perjalanan (untuk mencari berkah) kecuali hanya perjalanan ke tiga masjid, yaitu ke masjidil Haram, masjidil Aqsa dan ke masjidku ini (masjid Nabawi).

Kelihatannya, semakin hari semakin banyak orang yang menziarahi masjid kubah emas milik Yayasan Dian al-Mahri tersebut. Perlu juga dicatat, jika sebuah masjid belum diwakafkan menjadi milik ummat Islam, maka status masjid tersebut sama saja dengan rumah pribadi, penginapan pribadi dan segala hak milik pribadi. Tapi, begitu banyak ummat Islam yang terlalu silau memandang kilau emas dan indah arsitekturnya, sehingga tidak dapat melihat sessensi sebuah masjid. Wallahu a'lam.


Saturday, June 16, 2007

Bagaimana Siswa Belajar ?

Prof. Alby sedikit kecewa pada sessi terakhir acara workshop atas beberapa saran dari peserta workshop tentang kurikulum, penulisan silabus dan ToT yang dilaksanakan untuk Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas di Hotel Grand Tropic, Jakarta Barat beberapa hari lalu. Barangkali menurutnya, bagaimana mungkin, peserta workshop begitu bersemangat, partisipatif dan kelihatan sangat senang dalam setiap sessi, tetapi di akhir acara ada catatan-catatan agak miring terkait jalannya workshop yang digagas AIBEP dan Depag tersebut. Untunglah suasana kembali cair.
Sebagai peserta, saya menduga bahwa Prof. Alby salah persepsi atas saran para peserta yang dianggapnya tidak mencerminkan animo yang begitu tinggi setiap kali ia memberikan materi yang ditunjukkan para peserta. Saya juga yakin, saran yang ditulis para peserta lebih terkait soal teknis aplikatif bukan pada dirinya dan substansi materi yang disampaikannya. Bahkan, saya tidak yakin kalau para peserta tidak menyukai Prof. Alby. Dia yang humoris, hangat dan bersahaja. Ketahanan fisiknya sangat prima untuk ukuran pria berusia 68 tahun memberikan ceramah selama 5 hari. Luar biasa. Seingat saya, Dia tidak menggunakan mikropon saat berbicara, tapi sangat jelas ditangkap, meski pemahamannya tidak semua bisa dimengerti peserta karena kendala bahasa. Untunglah ada Prof. Muljani, Mas Arif dan Mba Katty juga Pak Unang yang banyak menjembatani was wes wos-nya Pa Alby. Tentu yang tidak kalah penting, Dia sangat menguasai persoalan pengembangan kurikulum di sekolah, bagaimana mengelola pembelajaran, bagaimana menilai dan melakukan evaluasi, mengembangkan silabus dan semua yang terkait dalam tema besar workshop kali itu.
Mungkin selama ini, guru di balik pengalamannya, masih menempatkan dirinya sebagai subjek dan materi pembelajaran menjadi gagasan utama dalam belajar, sedangkan siswa ditempatkan sebagai objek belajar. Kenyataan ini dibalikkan seratus delapan puluh derajat dalam workshop itu, dengan memposisikan siswa sebagai subjek belajar. Siswalah yang berperan, sementara guru hanyalah fasilitator. Gagasan belajar tidak lagi dibangun pada apa yang akan mereka pelajari, tetapi berfikir bagaimana siswa belajar.
Mungkin sebagian peserta telah banyak tahu pergeseran paradigma itu. Tetapi seolah-olah baru kali ini informasi itu didapatkan. Di sinilah Pa Alby berperan besar dalam menyajikan paradigma baru itu sampai pada tingkat yang paling substantif dalam runtutan manajemen belajar; silabus.
Begitulah, menulis silabus yang telah menjadi makanan wajib bagi guru dalam tugasnya mengembangkan pembelajaran, "terpaksa" harus direkonstruksi dalam acara itu. Paling tidak pada gagasan pokok silabus yang mencerminkan ,"Bagaimana siswa belajar ?" bukan, "Apa yang harus dipelajari siswa ?".

Wednesday, June 6, 2007

WC Dalam Etika Kita; Catatan Untuk Wisata Akhir Studi


Wisata akhir studi bagi siswa kelas sembilan tempat saya bekerja berlalu sehari sudah. Sejak awal keberangkatan, Ahad 3 Juni 2007 suasana gembira sangat terasa mewarnai perjalanan sampai tiba di lokasi wisata; Kawah Putih Ciwidey. Acara dikemas menyenangkan, outbond, hiburan, belanja dan tentu fasilitas hotel pilihan panitia. Cukup ampuh untuk mengendurkan syaraf-syaraf tegang setelah sebelumnya konsentrasi diheningkan untuk satu momen; UN. Hampir tidak ada peserta yang tidak menikmati wisata ini. Siswa, guru dan karyawan, semua yang turut serta.
Hotel pilihan panitia tempat kami menginap terletak di Jl. Maribaya No. 11 B Lembang, cukup nyaman untuk ukuran saya. Meskipun saya agak "silau" membaca namanya. Awalnya biasa saja. Barulah setelah keluar dari kamar kecil, ada sesuatu yang mengganjal benak. Perasaan saya terusik dengan tanda penunjuk arah kiblat di kamar yang saya tempati, searah dengan posisi WC kamar mandinya. Ini berarti, siapapun yang buang hajat dalam posisi seperti itu, hanya ada dua kemungkinan. Pertama menghadap kiblat dan kedua membelakanginya. Saya tidak tahu, apakah semua demikian dan peserta studi merasakan seperti apa yang saya rasakan. Iseng-iseng saya coba mengunjungi beberapa WC. Yah, arahnya sama seperti kamar saya. Artinya, ada beberapa WC yang arahnya membelakangi dan menghadap kiblat. Terakhir sekali saya shalat Zhuhur di kamar yang diistirahati Pak Wakil Direktur, sama.
WC, bagi kita tidak sekedar persoalan estetika dan kebersihan saja. Tetapi juga menyangkut persoalan akhlak, persoalan etika. Dalam satu riwayat dari Abu Hurairah, Rasulullah menegaskan larangan dalam buang hajat :


عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَ ‏
‏إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا

"Bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila kamu mendatangi tempat buang air, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya." (HR. Muslim)

Dalam riwayat Abu Ayyub ada tambahan :
وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

"Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat." (HR. Muslim)

Posisi kiblat di Madinah adalah menghadap ke Selatan, sedangkan membelakangi kiblat berarti menghadap ke Utara. Menghadap ke barat dan timur artinya tidak menghadap kiblat dan juga tidak membelakanginya.
Jika hadits ini diterapkan di Indonesia, tentu tidak tepat hanya dipahami secara zahir teks. Sebab jika dipahami demikian akan bertentangan dengan maksud larangan dalam hadis itu. Pemahaman yang benar atas riwayat Abu Ayyub dalam konteks geografi Indonesia berarti,
"Tetapi menghadaplah ke utara atau ke selatan."
Sebab posisi Ka'bah geografi Indonesia berada di sebelah barat agak serong ke kanan beberapa derajat. karena itu WC yang dibangun orang muslim, selalu diarahkan ke utara-selatan untuk menghindari menghadap atau membelakangi kiblat.
Memang, ada pemahaman atas hadits di atas tidak berlaku bagi WC yang tertutup seperti sekarang. Alasan tersebut berdasarkan sifat tempat buang air di masa lalu bukan berbentuk kamar mandi yang tertutup melainkan tempat terbuka yang sepi tidak dilalui orang-orang. Sedangkan bila tempatnya tertutup seperti kamar mandi di zaman kita sekarang ini, tidak dilarang bila sampai menghadap kiblat atau membelakanginya. Pendapat ini didasari hadits riwayat Imam Tirmizi berikut ini.

Dari Jabir ra. berkata bahwa Nabi SAW melarang kita menghadap kiblat saat kencing. Namun aku melihatnya setahun sebelum kematiannya menghadap kiblat". (HR.Tirmizi)

Ada dua riwayat yang sejalan dikemukakan di sini dan satu riwayat yang berbeda dalam masalah ini. Yang pertama dan kedua sunnah qauliyah berupa larangan dan perintah. Riwayat yang ketiga sunnah fi'liyah. Nah, mendahulukan sunnah qauliyah akan lebih arif sebab menyangkut perintah Nabi untuk dilaksanakan dan larangannya untuk dihindari. Ini berarti, saat buang hajat sebaiknya menghindari menghadap kiblat dan membelakanginya, baik ada penghalang maupun di tempat terbuka.

***
Saya berasumsi, hotel dan WC-nya itu bukan milik orang muslim. Saya mafhum dari nama hotel yang tertulis jelas di muka pintu gerbangnya. Nah, wajar kalau demikian. Tetapi saya jujur, ada kecurigaan sedikit, jangan-jangan memang sengaja dirancang menghadap searah dengan kiblat. Ini semacam perangkap bagi tamu muslim menginap yang tidak menyadari bahwa ia telah menghadap atau membelakangi kiblat shalatnya saat buang hajat di hotel itu. Tapi sekali lagi jujur, kecuriagaan itu berkurang setelah saya bertanya pada ketua paniti studi wisata tentang WC di kamarnya. Katanya " Iya ya, tapi ... di kamar saya menghadap Utara-Selatan". Syukurlah. Barangkali posisi kita yang harus bergeser jika kebetulan buang hajat di hotel atau tempat-tempat umum yang kebetulan menghadap kiblat, daripada WC-nya yang kita dibongkar. Cepe deeeeh.


Monday, May 14, 2007

Sekali lagi, Wajah "Premanisme Intelektual" Pendidikan Tinggi

Keributan antar mahasiswa, mahasiswa dengan rektorat, atau; mahasiswa-warga-rektorat, minggu-minggu ini manjadi konsumsi berita sehari-hari. Kasus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan IAIN Ambon; di mana perkelahian begitu serunya ditayangkan, menjadi menu berita yang dapat dilihat sejak pagi hingga malam hari. Agak memalukan sebenarnya. Bahkan semakin menambah panjang daftar "ketidakdewasaan" lembaga pendidikan tinggi dan mahasiswanya dalam menyelesaikan konflik internal di tubuhnya. Banyak pihak terheran-heran atas semua dagelan itu. Padahal hanya kerugian yang mereka dapat, terutama mahasiswanya. Sudah kehilangan waktu belajar, dan tentu mencoreng gelar akademis yang kelak disandangnya. Bagi perguruan tinggi dan pejabatnya, tentu akan kehilangan wibawa di mata masyarakat luas, jika mereka tidak dapat menjelaskan duduk persoalan sebenarnya kepada publik.
Jika kita cermati, perilaku senang berkelahi di lingkungan kampus, biasanya melibatkan empat varian. Mahasiswa, pihak rektorat, aparat dan "orang luar". Perkelahian antara mahasiswa dengan mahasiswa, atau mahasiswa dengan pihak rektorat, biasanya dipicu oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, diusulkan, yang dirasakan merugikan salah satu pihak. Jalan buntu merupakan sebab dipilihnya aksi demo yang seringkali berujung bentrokkan dan perkelahian. Akhirnya, yang kelihatan adalah wajah kekerasan dalam perkelahian massal.
Acapkali mahasiswa berhadapan dengan aparat keamanan. Aksi saling dorong dengan cepat bisa berubah dengan aksi saling lempar, pukul, tendang dan sebagainya. Ujung-ujungnya akan ada mahasiswa yang ditahan, aparat yang terluka dan sebagainya.
Yang paling tidak dewasa, apabila perseteruan antara mahasiswa dan pihak kampus telah diwarnai masuknya pihak sewaan. Kekonyolan seringkali ditunjukkan oleh pihak kampus dengan menyewa tukang pukul dan para preman untuk menghadapi aksi-aksi mahasiswa. Kita tahu, sebaik-baik preman, dia tidak segan membunuh apalagi mereka dibayar. Di sinilah telah terjadi "premanisme intelektual" dunia kampus.
Perkelahian merupakan salah satu perbuatan kriminal dan tindakan melanggar hukum. Pelakunya dapat diancam pasal-pasal kekerasan, penganiayaan, melanggar ketertiban umum bahkan bisa diancam dengan pasal upaya menghilangkan nyawa orang lain apabila jatuh korban jiwa dalam perkelahian itu.
Masyarakat yang senag berkelahi adalah ciri masyarakat yang "sakit". Kita mafhum, bahwa kondisi sakit merupakan kondisi di mana kita tidak dapat sepenuhnya merasakan nikmatnya hidup. Sampai kapankan kita merasa tidak nyaman dengan sebagian kondisi pendidikan kita yang sakit dan senang berkelahi ?

Wednesday, May 9, 2007

Sulitnya Merebut Perhatian SIswa; Catatan Pinggir Guru Kontrak

Telah ada pergeseran waktu dan pandangan hidup, sebenarnya adalah suatu keniscayaan. Semua kita, pasti akan merasakan dan harus siap menghadapinya. Sekuat tenaga dan sekuat fikiran apapun kita berupaya, pergeseran itu akan tetap hadir menunjukkan keberadaannya. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, pergeseran makna mendidik, mengajar, pola hubungan guru-murid, dari waktu ke waktu bergeser meninggalkan tempatnya semula. Satu sisi, pergeseran itu membangkitkan optimisme, sebab menunjukkan perbaikan yang bersifat mekanis. Pendidikan dan pengajaran semakin sistemik, terukur dan semakin membuka peluang lebar-lebar bagi perkembangan bakat dan minat siswa. Namun di lain sisi, guru; sebagai subjek pendidikan harus berhadapan dengan kenyataan yang jauh berbeda ketika berhubungan dengan polah dan sikap siswa dalam proses pembelajaran sekarang.
Rasanya, ada nilai-nilai etis yang tergusur. Ada keluhuran yang menguap dalam pola hubungan guru-murid di balik kemajuan fisik pendidikan.
Dulu, "kehormatan" guru amat kental di mata siswa dan terpelihara secara alamiah. Guru betul-betul menjadi pusat teladan dan menjadi idola dalam pergaulan pendidikan. Siswa merasa "takut" untuk melakukan tindakan ataupun ucapan yang dirasa akan melukai hati gurunya.
Dulu, suara guru adalah suara dominan dalam setiap kali proses pembelajaran. Siswa merasa tabu dan tidak sopan apabila menyela pembicaraan gurunya di kelas.
Sekarang lain cerita. Siswa dengan amat biasa dapat saja mengangkat suaranya lebih keras dari gurunya. Bahkan kerap kali dilakukan pada saat-saat jam belajar. Mereka merasa tidak bersalah mengobrol, bercanda, tertawa pada saat-saat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan gurunya di kelas. Ya, seolah keberadaan gurunya di depan kelas, hanyalah sebagai keharusan saja. Padahal mungkin, guru merasa bahwa dia tengah "tidak diorangkan".
Dulu, dengan wibawanya; dengan kata-kata dan sikapnya, guru leluasa memberikan nasehat pendidikan yang menjadi bagian tugas-tugasnya. Dan siswa, dengan kebesaran hati dan "kepatuhannya" menerima hal itu dan menganggapnya sebagai perhatian guru terhadapnya.
Sekarang, siswa leluasa memberikan argumen apabila gurunya memberikan nasehat dalam bentuk teguran. Inilah suasana yang paling rawan. Secara tidak disadari muncul orogansi siswa dan egoisme guru. Tanpa bersalah, siswa sanggup mengatakan, " Pak !, saya bayar di sini". Dan ada guru kehilangan kedewasaan mendengar ocehan siswanya itu. Dengan suara yang agak meninggi ia menukas, " Kalau begitu, kamu bikin sekolah sendiri yang bisa kamu berbuat seenak hatimu".

***
Telah terjadi pergeseran pola hubungan guru-siswa, harus disikapi arif oleh tiga pilar utama pendidikan; keluarga, sekolah dan masyarakat. Nilai-nilai luhur seperti tata krama bagaimana pola interaksi yang sehat dibangun, harus tetap dipelihara. "Kasih-sayang" dalam konteks interaksi belajar, memang semakin kompleks. Kenyataan ini membutuhkan jalan keluar agar tidak ada satu pihak yang merasa tertekan dalam setiap kegiatan belajar mengajar, dan pendidikan dalam lingkup makro.

Pilar utama pendidikan.

Keluarga adalah madrasah pertama bagi peserta didik. Kedua orang tua menjadi guru, bukan saja secara pedagogis, tetapi adalah guru secara geneologis bagi anak. Sifat-sifat dan karakter anak banyak kesamaannya karena pengaruh gen kedua orang tuanya yang dibawa sejak lahir. Ayah atau ibunya yang paling dominan, itu persoalan kecenderungan saja. Faktor inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasila pendidikan keluarga. Sebab, kedua orang tua sekaligus gurunya itu, adalah orang yang paling memahami, paling dekat dan paling tahu kecenderungan anak di bawah buaiannya itu. Hal ini tentu berbeda, jika pola asuh dilakukan oleh orang lain selain kedua orang tuanya.
Keberhasilan pendidikan dalam keluarga akan menjadi jalan bagi keberhasilan pendidikan formal selanjutnya. Keberhasilan menanamkan nilai-nilai akhlak dalam keluarga, akan sangat membantu pembentukkan karakter siswa di sekolahnya kelak. Nah, di sinilah perlu ditanamkan kesadaran bagi orang tua, bahwa kewajibannya tidak sekedar melahirkan, memberikan sandang pangan atau kebutuhan fisik materi saja. Lebih dari itu, peran besar orang tua dituntut mampu memberikan pendidikan ruhani bagi buah hatinya.

Friday, May 4, 2007

Ironi Pendidikan di Hari Pendidikan Nasional

Awan kelabu dan mendung masih memayungi negeri ini. Gumpalan asap pesimistik itu berarak beriringan mengitari cakrawala nusantara, seperti enggan berpindah ke atas langit di belahan bumi lain. Hampir tak ada rongga bagi pori-pori bumi kita yang tidak disumbat dengan duka nestapa. Di darat, air mata mengalir. Bisa jadi karena semburan gelegak lumpur Porong, Sidoarjo. Kita masih belum tahu, kapan ia lelah dan berhenti memuntahkan isi perut bumi. Atau karena kita mual melihat ceceran darah dari korban yang tergencet di antara gerbong kereta yang terbalik atau bertabrakan satu sama lain. Belum lagi banjir, Tsunami, gempa dan longsor.

Di udara, air mata juga terburai karena tingkat kecelakaan jatuhnya pesawat terjadi berulangkali. Tak sanggup kita menyaksikan tubuh korban yang hangus terbakar dan bau anyirnya. Tanyakanlah kepada keluarga korban yang hingga saat ini belum dapat melihat jasad keluarganya karena bangkai pesawat belum ditemukan atau tak dapat dievakuasi, atau tak mungkin lagi diidentifikasi. Perih.

Laut, sebagai periuk besar bumi, yang selalu menyediakan kelezatan cita rasa dengan apa yang dikandungnya, beberapa bulan terakhir enggan menyebarkan aroma ikan bakar, kepiting rebus atau gurihnya aneka kerang. Laut justru “terlibat” melengkapi daftar kecelakaan transportasi. Seakan tidak mau ketinggalan dengan dua armada koleganya; darat dan udara.

Lebih miris lagi, awan hitam pun ternyata menyempatkan mampir dan “melegamkan” bangunan beberapa sekolah dan institusi pendidikan tanah air. Kali ini adalah awan hitam yang menghantam bangunan ruhani yang semestinya tabu bagi lembaga yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Beberapa kasus yang mencuat belakangan ini, seperti sebuah ironi, justru terjadi di “kandang” pendidikan dan hampir bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Hari ini, Jum’at 04 Mei 2007, di TV tersiar kabar seorang siswa di Jakarta Timur meninggal dunia. Diduga karena penganiayaan beberapa temannya di kamar mandi sekolah.

Sebelumnya yang masih hangat, kematian praja Cliff Muntu, Praja IPDN, pun diduga tewas akibat penganiayaan di asrama tempatnya menimba ilmu.

Dua contoh kasus di atas, sebenarnya bisa dikatakan telah keluar dari akar tradisi pendidikan yang mengajarkan kesantunan dan welas asih kepada sesama makhluk, bahkan kepada semua makhluk Allah dan alam semesta. Jika pun ada pengembangan ranah psikomotoris; yang menitikberatkan pada keterampilan mekanis yang bertumpu pada kekuatan fisik adalah dalam rangka menyempurnakan misi pendidikan dalam membentuk manusia yang sehat rohani dan jasmaninya.

Akar masalah kekerasan dalam dunia pendidikan, memang bukan satu-satunya kesalahan institusi atau sistem pendidikan yang diterapkannya. Masalah-masalah pemicu di luar jendela sekolah banyak berkeliaran dan memancing tindakan kekerasan terjadi. Pengaruh tragedi rumah tangga yang menimbulkan traumatik, lingkungan pergaulan yang tidak sehat, atau intensitas tontonan dan bacaan yang mengandung kekerasan yang amat tinggi, tentulah tidak bisa dinafikan. Dengan melihat faktor-faktor luar itu, bisa jadi, sekolah atau institusi pendidikan hanyalah merupakan sarana akumulasi dari sebuah tindakan kekerasan.

Tapi bagaimanapun juga, beban lembaga pendidikan akan lebih berat berlipat-lipat dibandingkan lembaga atau institusi non pendidikan apabila telah terjadi kekerasan dan anarkhisme di dalamnya. Mengingat ia merupakan salah satu lembaga yang mempunyai tanggungjawab langsung dalam upaya membangun karakter manusia yang santun, beradab dan berkepribadian luhur.

Masyarakat akan seperti tidak percaya dan tercengang apabila melihat segerombolan siswa yang masih mengenakan seragam sekolahnya, bertarung massal di jalan dan gang-gang sempit sambil menenteng samurai, menggenggam batu untuk melukai lawannya sesama pelajar. Beberapa tahun ke belakang prilaku tidak terpuji ini diikuti oleh mahasiswa; kakak kandungnya satu tingkat lebih tinggi. Baik perkelahian antar kampus, atau mahasiswa satu kampus dari jurusan yang berbeda. Serta merta masyarakat akan merespon, melihat dan bertanya : sebenarnya, apa yang tengah terjadi ? Lalu, apa yang mereka pelajari di sekolah sehingga menjadi liar dan bringas ? Kok, seperti preman berbaju almamater. Tidak salah jika mereka mengatakan, bahwa nilai-nilai akhlak, seperti tercerabut akarnya dari tanah pendidikan kita.

Tentu, ini bukanlah generalisasi. Di negeri kita masih banyak sekolah dan institusi pendidikan yang teduh dan masih setia dengan pengembangan kepribadian luhur yang berbasis akhlak, science, kecerdasan bahasa dan olah tubuh. Sayangnya, sekolah-sekolah model demikian hanya bisa dinikmati oleh kelas tertentu. Sebagian besar kalangan menengah ke atas. Harganya, memang selangit. Sebanding dengan pelayanan, fasilitas, aktivitas dan SDM yang dimilikinya. Sementara jika kita tengok ke pelosok, masih kita lihat potret sekolah yang hidup mengenaskan. Beberapa di antaranya roboh menimpa siswa atau gurunya yang sedang belajar dan mengajar, dan… mati.

Begitulah sebuah ironi.

sekolah roboh

sekolah roboh